BAB I
PENDAHULUAN
1.1 LATAR BELAKANG
Dari
survei demografi dan kesehatan indonesia (SDKI) dan data biro pusat statistik (BPS),
angka kematian ibu dalam kehamilan dan persalinan di seluruh dunia mencapai 515
ribu jiwa pertahun. Ini berarti seorang ibu meninggal hampir setiap menit
karena komplikasi kehamilan dan persalinannya (dr. Nugraha, 2007)
Kematian
dan kesakitan ibu sebenarnya dapat dikurangi atau dicegah dengan berbagai usaha
perbaikan dalam bidang pelayanan kesehatan obstetri. Pelayanan kesehatan
tersebut dinyatakan sebagai bagian integeral dari pelayanan dasar yang akan
terjangkau seluruh masyarakat. Kegagalan dalam penangan kasus kedaruratan
obstetri pada umumnya disebabkan oleh kegagalan dalam mengenal resiko
kehamilan, keterlambatan rujukan, kurangnya sarana yang memadai untuk perawatan
ibu hamil dengan resiko tinggi maupun pengetahuan tenaga medis, paramedis, dan
penderita dalam mengenal kehamilan resiko tinggi (krt) secara dini, masalah
dalam pelayanan obstetri, maupun kondisi ekonomi (Syamsul, 2003).
Ada
lima aspek dasar atau lima benang merah, yang paling penting dan saling terkait
dalam asuhan persalinan yang bersih dan aman. Berbagai aspek tersebut melekat
pada setiap persalinan baik normal maupun patologis. Lima benang merah tersebut
adalah membuat keputusan klinik, asuhan sayang ibu dan sayang bayi, pencegahan
infeksi, pencetakan (rekam medik) asuhan persalinan dan rujukan (asuhan
persalinan normal, 2002).
Kasus-kasus
yang harus dirujuk bidan adalah riwayat bedah sesar, perdarahan pervaginam,
persalinan kurang bulan (usia kehamilan kurang dari 37 minggu), ketuban pecah
disertai dengan mekonium yang kental, ketuban pecah lama (lebih dari 24 jam),
ketuban pecah pada persalinan kurang bulan (kehamilan kurang dari 37 minggu),
ikterus, anemia berat, tanda gejala infeksi, pre-eklampsia /hipertensi dalam
kehamilan, tinggi fundus 40 cm /lebih, gawat janin, primipara dalam fase aktif
kala I persalinan dan kepala janin masih 5/5, persentasi bukan belakang kepala,
persentasi ganda (majemuk), kehamilan ganda atau gemelli, tali pusat menumbung
dan syok (asuhan persalinan normal, 2007).membuat keputusan klinik dihasilkan
melalui serangkaian proses dan menggunakan informasi dari hasil dan dipadukan
dengan kajian teoritis dan interpensi berdasarkan bukti pengalaman yang
dikembangkan melalui berbagai tahapan dan terfokus pada pasien (varney,1997).
Beberapa
ahli dapat menyatakan kehamilan lewat bulan bila lebih dari 41 minggu karena
angka mordibitas dan mortalitas neonatus meningkat setelah usia 40 minggu.
Namun kurang lebih 18% kehamilan akan berlanjut melebihi 41 minggu hingga 7%
akan menjadi 42 minggu bergantung pada populasi dan kriteria yang digunakan.
Seringnya
kesalahan dalam mendefinisikan postmatur diperlukan deteksi sedini mungkin
untuk menghindari kesalahan dalam menentukan usia kehamilan. Jika tapi telah
ditentukan pada trimester terakhir atau berdasarkan data yang tidak dapat
diandalkan. D ata yang terkumpul sering menunjukkan peningkatan resiko lahir
mati seiring peningkatan usia kehamilan lebih dari 40 minggu.
1.2 TUJUAN PENULISAN
Penyusunan makalah ini bertujuan antara lain :
1. Sebagai bahan
acuan mahasiswa untuk meningkatkan pengetahuan mengenai asuhan keperawatan bayi
dan ibu dengan persalinan postmatur
2. Untuk memenuhi
tugas mata kuliah Keperawatan Anak.
1.3 RUMUSAN MASALAH
1. Apa definisi bayi
postmatur ?
2.
Bagaimana etiologi postmatur ?
3.
Bagaimana patofisiologi postmatur ?
4.
Apa saja manifestasi klinis persalinan postmatur bagi ibu
dan bayi ?
5.
Bagaimana progonosis persalinann postmatur ?
6.
Apa saja komplikasi dari kelahiran postmatur ?
7.
Bagaimana penanganan persalinan postmatur ?
8.
Apa saja pemeriksaan penunjang pada postmatur ?
9.
Bagaimana penatalaksanaan postmatur ?
1.4 METODE PENULISAN
Metode yang dipakai
penulis dalam penyusunan makalah ini adalah dengan cara pengumpulan data dengan
kategorisasi dan klasifikasi tertulis yang berhubungan dengan makalah yang
brsumbr dari e-book dan internet.
BAB II
PEMBAHASAN DAN ISI
2.1 DEFINISI
Bayi Post Term adalah bayi yang lahir setelah kehamilan lebih dari 42
minggu, dihitung dari hari pertama haid terakhir tanpa memperdulikan berat
badan bayi pada waktu lahir.
Postmatur
menunjukan atau menggambarkan keadaan janin yang lahir telah melampaui batas
waktu persalinannya, sehingga dapat menyebabkan beberapa komplikasi. (Buku
Pengantar Kuliah Obsetri: hal 450). Kehamilan lewat bulan, suatu kondisi
antepartum, harus dibedakan dengan sindrom pasca maturitas, yang merupakan
kondisi neonatal yang didiagnosis setelah pemerikasaan bayi baru lahir.
Keakuratan
dalam memperkirakan usia kehamilan meningkat pesat sejak adanya USG yang makin
banyak digunakan. Kisaran optimum variasi lama gestasi pada manusia belum
diketahui hingga kini, dan penetapan dua minggu melewati taksiran persalinan
(TP) masih berubah-ubah. Meskipun insidensi kehamilan lewat bulan relatif
rendah, beberapa studi menunjukkan bahwa sebagian besar induksi yang
dijadwalkan dengan indikasi kehamilan lewat bulan faktanya kurang dari 42
minggu berdasarkan hitungan dengan USG. Akibatnya induksi yang menjadi bersifat
relative.
2.2 ETIOLOGI.
Penyebab
kelahiran post term Pada umumnya sering dianggap bahwa penyebab post term
adalah tidak pekanya uterus terhadap oksitoksin. Penyebab lain yang dikemukakan
ialah faktor herediter karena lewat waktu tidak jarang terjadi pada suatu
keluarga tertentu dan mempunyai kecendrungan untuk terulang pada wanita yang
sama.
Penyebab
lahir matinya tidak mudah dipahami dan juga tidak ada kesepakatan tentang
pendekatan yang paling tepat guna mencegah kematian tersebut. (Varney, Helen,
2007). Apabila diambil batas waktu 42 minggu frekuensinya adalah 10,4 – 12%.
Apabila diambil batas waktu 43 minggu frekuensinya adalah 3,4 -4% (Ochtar,Rustam,1998).
Etiologi
pada kelahiran lewat bulan ini masih belum pasti. Namun ada factor yang diduga
bayi lahir lewat bulan atau postmatur, yang dikemukakan adalah faktor hormonal
yaitu kadar progesterone, kurangnya air ketuban dan insufisiensi plasenta.
2.3 PATOFISIOLOGI
Faktor
hormonal, yaitu kadar progesteron tidak cepat turun walaupun kehamilan telah
cukup bulan, sehingga kepekaan uterus terhadap oksitosin berkurang ( Mochtar,
Rustam, 1999). Diduga adanya kadar kortisol yang rendah pada darah janin. Selain
itu, kurangnya air ketuban dan insufisiensi plasenta juga diduga berhubungan
dengan kehamilan lewat waktu.
Etiologi
menurut Nwosu dkk faktor-faktor yang menyebabkan post matur stress,
sehingga tidak timbulnya his kurangnya air ketuban dan Insufisiensi plasenta (
ilmu Kebidanan: hal.318)
Fungsi
plasenta memuncak pada usia kehamilan 38-42 minggu, kemudian menurun setelah 42
minggu, terlihat dari menurunnya kadar estrogen dan laktogen plasenta. Terjadi
juga spasme arteri spiralis plasenta. Akibatnya dapat terjadi gangguan suplai
oksigen dan nutrisi untuk hidup dan tumbuh kembang janin intrauterin. Sirkulasi
uteroplasenta berkurang sampai 50%. Volume air ketuban juga berkurang karena
mulai terjadi absorpsi. Keadaan-keadaan ini merupakan kondisi yang tidak baik
untuk janin. Risiko kematian perinatal pada bayi postmatur cukup tinggi : 30%
prepartum, 55% intrapartum, 15% postpartum.
2.4 MANIFESTASI KLINIS
Pengaruh terhadap Ibu dan Janin :
1. Terhadap Ibu
Persalinan postmatur dapat
menyebabkan distosis karena :
a. Aksi uterus tidak terkoordinir.
b. Janin besar.
c. Moulding kepala kurang.
Maka akan sering dijumpai : partus
lama, kesalahan letak, inersia uteri, distosia bahu dan perdarahan postpartum.
Hal ini akan menaikan angka mordibitas dan mortalitas.
2. Terhadap janin
Jumlah kematian janin/ bayi pada kehamilan 43 minggu tiga
kali lebih besar dari kehamilan 40 minggu karena postmaturitas akan menambah
bahaya pada janin. Pengaruh postmaturitas pada janin bervariasi: berat badan
janin dapat bertambah besar, tetap dan ada yang berkurang, sesudah kehamilan 42
minggu. Ada pula yang bisa terjadi kematian janin dalam kandungan.
Bayi postmatur menunjukan gambaran yang khas, yaitu berupa
kulit keriput, mengelupas lebar-lebar, sianosis, badan kurus yang menunjukan
pengurasan energi, dan maturitas lanjut karena bayi tersebut matanya terbuka.
Kulit keriput telihat sekali pada bagian telapak tangan dan telapak kaki. Kuku
biasanya cukup panjang. Biasanya bayi postmatur tidak mengalami hambatan
pertumbuhan karena berat lahirnya jarang turun dibawah persentil ke-10 untuk
usia gestasinya. Banyak bayi postmatur Clifford mati dan banyak yang sakit
berat akibat asfiksia lahir dan aspirasi mekonium. Berapa bayi yang bertahan
hidup mengalami kerusakan otak
Insidensi sindrom postmaturitas pada bayi berusia 41, 42,
dan 43 minggu masing-masing belum dapat ditentukan dengan pasti. Syndrome ini
terjadi pada sekitar 10% kehamilan antara 41 dan 43 minggu serta meningkat
menjadi 33% pada 44 minggu. Oligohidramnion yang menyertainya secara nyata
meningkatkan kemungkinan postmaturitas.
2.5
PROGNOSIS.
Kalau persalinan terlambat 3 minggu atau lebih dari usia
aterm, maka terdapat peningkatan angka kematian yang cukup berarti. Beberapa
ahli dapat menyatakan kehamilan lewat bulan bila lebih dari 41 minggu karena
angka mordibitas dan mortalitas neonatus meningkat setelah usia 40 minggu.
Namun kurang lebih 18 % kehamilan akan berlanjut melebihi 41 minggu hingga 7%
akan menjadi 42 minggu bergantung pada populasi dan kriteria yang digunakan.
Seringnya kesalahan dalam mendefinisikan postmatur diperlukan deteksi sedini mungkin untuk menghindari kesalahan dalam menentukan usia kehamilan.Jika Tp telah ditentukan pada trimester terakhir atau berdasarkan data yang tidak dapat diandalkan.Data yang terkumpul sering menunjukkan peningkatan resiko lahir mati seiring peningkatan usia kehamilan lebih dari 40 minggu.
Penyebab lahir matinya tidak mudah dipahami dan juga tidak ada kesepakatan tentang pendekatan yang paling tepat guna mencegah kematian tersebut. (Varney, Helen, 2007)
Seringnya kesalahan dalam mendefinisikan postmatur diperlukan deteksi sedini mungkin untuk menghindari kesalahan dalam menentukan usia kehamilan.Jika Tp telah ditentukan pada trimester terakhir atau berdasarkan data yang tidak dapat diandalkan.Data yang terkumpul sering menunjukkan peningkatan resiko lahir mati seiring peningkatan usia kehamilan lebih dari 40 minggu.
Penyebab lahir matinya tidak mudah dipahami dan juga tidak ada kesepakatan tentang pendekatan yang paling tepat guna mencegah kematian tersebut. (Varney, Helen, 2007)
Apabila diambil batas
waktu 42 minggu frekuensinya adalah 10,4 – 12%. Apabila diambil batas waktu 43
minggu frekuensinya adalah 3,4 -4% ( Mochtar,Rustam,1998)
Kesepakatan yang ada
adalah bahwa resiko mortalitas perinatal lebih tinggi pada IUGR atau bayi SGA
daripada AGA lewat bulan. Clausson et al Menegaskan bahwa odds ratio untuk
kematian perinatal untuk bayi AGA tidak berbeda signifkan pada bayi post term.
Namun bagi SGA mempunyai odds ratio 10,5 pada lahir post term. Penatalaksanaaan
aktif pada bagi AGA dengan lebih bulan kenyataan dapat mengubah hasil positif
yang diingunkan, angka penatalaksanaan anestesia epidural, persalinan sesar,
dan mortalitas.
2.6
KOMPLIKASI
1. Suhu yang tidak
stabil.
2. Hipoglikemi.
3. Polisitemia.
4. Kelainan
neurogenik.
5. Terhadap ibu persalinan
serotinus dapat menyebabkan distosia dikarenakan oleh:
a.
Aksi uterus yang tidak terkoordinir
dikarenakan kadar progesteron yang tidak turun pada kehamilan serotinus maka
kepekaan terhadap oksitosin berkurang sehingga estrogen tidak cukup untuk menyediakan
prostaglandin yang berperan terhadap penipisan serviks dan kontraksi
uterus sehingga sering didapatkan aksi uterus yang tidak terkoordinir.
b. Janin besar
oleh karena pertumbuhan janin yang terus berlangsung dan dapat menimbulkan CPD
dengan derajat yang mengakhawatirkan akibatnya persalinan tidak dapat
berlangsung secara normal, maka sering dijumpai persalinan lama, inersia uteri,
distosia bahu dan perdarahan post partum.
6. Terhadap janin
fungsi plasenta mencapai puncaknya pada
kehamilan 28 minggu kemudian mulai menurun terurtama setelah 42 minggu, hal ini
dapat dibuktikan dengan penurunan kadarestriol kadar plasenta dan estrogen.
Rendahnya fungsi plasenta berkaitan dengan peningkatan kejadian gawat janin
dengan resiko tiga kali. Akibat dari proses penuaan plasenta maka pasokan
makanan dan oksigen akan menurun disamping dengan adanya spasme arteri
spiralis. Janin akan mengalami pertumbuhan terhambat dan penurunan berat dalam
hal ini dapat disebut dismatur. Sirkulasi utero plasenter akan berkuarang 50%
menjadi 250 mm/menit. Kematian janin akibat kehamilan serotinus terjadi pada 30
% sebelum persalinan, 50% dalam persalinan dan 15% dalam postnatal. Penyebab
utama kematian perinatal adalah hipoksia dan aspirasi mekonium. Tanda-tanda
partus postterm dibagi menjadi tiga stadium:
a.
Stadium I : kulit menunjukkan
kehilangan verniks kaseosa dan maserasi berupa kulit kering, rapuh dan mudah
mengelupas.
b. Stadium II :
gejala pada stadium satu ditambah dengan pewarnaan mekonium (kehijauan pada
kulit).
c. Stadium III :
pewarnaan kekeuningan pada kuku, kulit dan tali pusat.
Pada kasus yang
lain biasanya terjadi insufisiensi plasenta. Dimana plasenta, baik secara
anatomis maupun fisiologis tidak mampu memberikan makanan dan oksigen kepada
fetus untuk mempertahankan pertumbuhan dan perkembangan secara norma. Hal ini
dapat menyebabkan kematian janin dalam kandungan. Volume cairan amnion akan
meningkat sesuai dengan bertambahnya kehamilan. Pada kehamilan cukup bulan cairan
amnion 1000-1500 ml, warna putih, agak keruh, serta mempunyai bau yang khas,
amis, dan agak manis, cairan ini mengandung sekitar 98% air. Sisanya terdiri
dari garam organik dan anorganik yaitu rambut lanugo (rambut halus yang berasal
dari bayi), sel-sel epitel dan forniks kaseosa (lemak yang meliputi kulit bayi.
Produksi cairan
amnion sangat dipengaruhi fungsi plasenta. Pada kehamilan serotinus fungsi
plasenta akan menurun sehingga akibatnya produksi cairan amnion juga akan
berkurang. Dengan jumlah cairan amnion dibawah 400 ml pada umur kehamilan 40
minggu atau lebih mempunyai hubungan dengan komplikasi janin. Ini dikaitkan
dengan fungsi cairan amnion yaitu melindungi janin terhadap trauma dari luar,
memungkinkan janin bergerak bebas, melindungi suhu janin, meratakan tekanan di
dalam uterus pada partus sehingga serviks membuka, membersihkan jalan lahir
pada permulaan partus kala II. Dengan adanya oligohidramnion maka tekanan pada
uterus tidak sempurna, sehingga terkadang disertai kompresi tali pusat dan menimbulkan
gawat janin. Janin menjadi stress kemudian mengeluarkan mekonium yang akan
mencemari cairan ketuban, sehingga tak jarang terjadi aspirasi mekonium yang
kental.
2.7
PENANGANAN.
Pemantauan obstetrik yang teliti termasuk “non stres
testing”/OCT (oxytocin Challenge Test) biasanya dapat memberikan landasan
rasional untuk melakukan pilihan antara persalinan tanpa intervensi persalinan
yang di induksi atau melakukan sectio caesaria
2.8 PEMERIKSAAN PENUNJANG
1. Bila HPHT dicatat dan diketahui
wanita hamil, diagnosis tidak sukar.
2. Kesulitan mendiagnosis bila wanita
tidak ingat HPHTnya. Hanya dengan pemeriksaan antenatal yang teratur diikuti
dengan tinggi dan naiknya fundus uteri dapat membantu penegakan diagnosis.
3. Pemeriksaan rontgenologik dapat
dijumpai pusat penulangan pada bagian distal femur, bagian proksimal tibia,
tulang kuboid diameter biparietal 9,8 atau lebih.
4. USG : ukuran diameter biparietal,
gerkan janin dan jumlah air ketuban.
5. Pemeriksaan sitologik air ketuban:
air ketuban diamabil dengan amniosenteris baik transvaginal maupun
transabdominal, kulit ketuban akan bercampur lemak dari sel-sel kulit yang
dilepas janin setelah kehamilan mencapai lebih dari 36 minggu. Air ketuban yang
diperoleh dipulas dengan sulfat biru Nil, maka sel-sel yang mengandung lemak
akan berwarna jingga
a. Melebihi 10% = kehamilan diatas 36
minggu.
b. Melebihi 50% = kehamilan diatas 39
minggu.
6. Amnioskopi, melihat derajat
kekeruhan air ketuban, menurt warnanya karena dikeruhi mekonium.
7. Kardiotografi, mengawasi dan membaca
denyut jantung janin, karena insufiensi plase.
8. Uji oksitosin ( stress test), yaitu
dengan infus tetes oksitosin dan diawasi reaksi janin terhadap kontraksi
uterus. Jika ternyata reaksi janin kurang baik, hal ini mungkin janin akan
berbahaya dalam kandungan.
9. Pemeriksaan kadar estriol dalam
urin.
10. Pemeriksaan pH darah kepala janin.
a. Nilai darah
lengkap pada bayi asfiksia terdiri dari :
b. Hb (normal
15-19 gr%) biasanya pada bayi dengan asfiksia Hb cenderung turun karena O2
dalam darah sedikit
c. Leukositnya
lebih dari 10,3 x 10 gr/ct (normal 4,3-10,3 x 10 gr/ct) karena bayi preterm
imunitas masih rendah sehingga resiko tinggi
d. Trombosit
(normal 350 x 10 gr/ct)
e. Distrosfiks
pada bayi preterm dengan post asfiksi cenderung turun karena sering terjadi
hipoglikemi.
11. Nilai analisa gas
darah pada bayi post asfiksi terdiri dari :
a. pH (normal
7,36-7,44). Kadar pH cenderung turun terjadi asidosis metabolik.
b. PCO2
(normal 35-45 mmHg) kadar PCO2 pada bayi post asfiksia cenderung
naik sering terjadi hiperapnea.
c. PO2
(normal 75-100 mmHg), kadar PO2 pada bayi post asfiksia cenderung
turun karena terjadi hipoksia progresif.
d. HCO3
(normal 24-28 mEq/L)
12. Urine
13. Nilai serum
elektrolit pada bayi post asfiksia terdiri dari :
a. Natrium (normal
134-150 mEq/L)
b. Kalium (normal
3,6-5,8 mEq/L)
c. Kalsium (normal
8,1-10,4 mEq/L)
14. Photo thorax
15. Pulmonal tidak
tampak gambaran, jantung ukuran normal.
2.9 PENATALAKSANAAN
1. Setelah usia kehamilan > 40-42
minggu yang penting adalah monitoring janin sebaik-baiknya.
2. Apabila tidak ada tanda-tanda
insufisiense plasenta, persalinan spontan dapat ditunggu dengan pengawasan
ketat
3. Lakukan pemeriksaan dalam untuk
menilai kematangan serviks, kalau sudah matang boleh dilakukan induksi
persalinan dengan atau tanpa amniotomi.
4. Bila ada riwayat kehamilan yang lalu
ada kematian janin dalam rahim, Terdapat hipertensi, pre-eklampsia, Kehamilan
ini adalah anak pertama karena infertilitas, Pada kehamilan > 40-42 minggu.
Maka ibu dirawat di rumah sakit :
a. Tindakan operasi seksio sesarea
dapat dipertimbangkan pada :
·
Insufisiensi plasenta dengan keadaan serviks belum matang
·
Pembukaan yang belum lengkap, persalinan lama dan terjadi
gawat janin, atau
·
Pada primigravida tua, kematian janin dalam kandungan,
pre-eklampsia, hipertensi menahun, anak berharga (infertilitas) dan kesalahan
letak janin.
b. Pada persalinan pervaginam harus
diperhatikan bahwa partus lama akan sangat merugikan bayi, janin postmatur
kadang-kadang besar dan kemungkinan diproporsi sefalo-pelvik dan distosia janin
perlu dipertimbangkan. Selain itu janin postmatur lebih peka terhadap sedatif
dan narsoka, jadi pakailah anestesi konduksi. (Rustam Mochtar, Sinopsis
Obstetri Jilid I, 1998).
5. Penatalaksanaan antisipasi pada usia
kehamilan lewat bulan antara 40 hingga 42 minggu
a. Kaji kembail TP wanita sebagai titik
tengah dalam kisaran waktu 4 minggu ( 40+minggu)
b. Kaji kembali bersama wanita rencana
penanganan kehamilan lewat bulan, dokumentasikan rencana yang disepakati ( 40+
minggu).
c. Uji kembali nonstress awal (
Nonstress test, NST) dua kali dalam seminggu, yang dimulai saat kemilan berusia
41 minggu dan berlanjut hingga persalinan.
d. Lakukan pengukuran volume cairan
amnion ( Amniotic fluid volume, APV) dua kali dalam seminggu, yang dimulai saat
kehamilan berusia 41 minggu dan berlanjut hingga persalinan.
e. Lakukan uji profil biofisik lengkap
dan konsultasikan dengan dokter untuk hasil NST yang nonreaktif atau APV yang
rendah.
f. Jika kelainan berlanjut hingga 42
minggu dan perkiraan usia kehamilan dapat diandalkan mulai penanganan aktif
mengacu pada protokol.
6. Penatalaksanaan aktif pada kehamilan
leat bulan :
a. Induksi persalinan
Pada tahun 1970-an terdapat meningkatnya kesadaran terhadap
mordibitas kehamilan lewat bulan. Beberapa pihak mengajukan keberatan terhadap
induksi persalinan karena tidak alami dan dapat meningkatkan bahaya.
Namun walaupun banyak pihak yang menentang induksi persalinan dan tidak adanya
standardisai kriteria, praktik induksi telah banyak meningkat selama satu
dekade terakhir
Menurut American college of obstetricians dan Gynecologist,
hasil yang diharapkan dari induksi persalinan adalah “ ibu dapat melahirkan
bayi pervaginam setelah kontraksi distimulasi sebelum persalinan spontan
terjadi”. Meski metode induksi sekarang diutamakan pada induksi kontarkasi
uterus, namun peran servik sangat penting yang aktivitasnya tidak sepenuhnya dipengaruhi
uterus.
Penggunanaan obat berpusat pada oksitosin sejak tahun
1960-an dan prostaglandin sejak tahun 1970-an. Pengaturan dosis, dan cara
pemberian dan waktu pemberian untuk semua metode hingga kini masih dalam
penelitian,
Untuk menghasilkan persalinan yang aman, keberhasilan
induksi persalinan setelah servik matang dapat dicapai dengan menggunakan
prostaglandin E2 (PGE2) bersama oksitosin, dan prostaglandin terbukti lebih
efektif sebagai agens yang mematangkan servik dibanding oksitosin.
Metode lain yang digunakan untuk menginduksi persalinan (
misalnya minyak jarak, stimulasi payudara, peregangan servik secara mekanis),
memiliki kisaran keberhasilan secara beragam dan atau sedikit penelitian untuk
menguatkan rekomendasinya.
b. Metode hormon untuk induksi
persalinan :
·
Oksitosin yang digunakan melalui intravena (atas persetujuan
FDA untuk induksi persalinan). Dengan catatan servik sudah matang.
·
Prostaglandin : dapat digunakan untuk mematangkan servik
sehingga lebih baik dari oksitosin namun kombinasi keduanya menunjukkan
hal yang positif.
·
Misprostol
Merk dagang cytotec. Suatu tablet sintetis analog PGE1 yang
diberikan intravagina (disetujui FDA untuk mencegah ulkus peptikum, bukan untuk
induksi)
·
Dinoproston
Merk dagang cervidil suatu preparat PGE2, tersedia dalam
dosis 10 mg yang dimasukkan ke vagina ( disetujui FDA untuk induksi persalinan
pada tahun 1995).
Merk dagang predipil. Suatu sintetis preparat PGE2 yang
tersedia dalam bentuk jel 0,5 mg deng diberika intraservik (disetujui FDA untuk
induksi persalinan pada tahun 1993)
Mifepriston 9 RU 486, antagonis reseptor progesteron)
(disetujui FDA untuk aborsi trimester pertama, bukan untuk induksi) tersedia
dalam bentuk tablet 200 mg untuk diberikan per oral.
c. Metode non hormon Induksi
persalinan
·
pemisahan ketuban
Prosedurnya dikenal dengan pemisahan atau mengusap ketuban
mengacu pada upaya memisahkan membran amnion dari bagian servik yang mudah
diraih dan segmen uterus bagian bawah pada saat pemeriksaan dalam dengan tangan
terbungkus sarung tangan bidan memeriksa wanita untuk menentukan penipisan
serviks, pembukaan dan posisi lazimnya.
Perawatan dilakukanan untuk memastikan bahwa bagian kepala
janin telah turun. Pemeriksaan mengulurkan jari telunjuk sedalam mungkin
melalui os interna, melalui ujung distal jari perlahan antara segmen uterus
bagian bawah dan membaran. Beberapa usapan biasanya efektif untuk menstimulasi
kontaksi awal regular dalam 72 jam.
Mekanisme kerjanya memungkinkan melepaskan prostaglandin ke
dalam sirkulasi ibu. Pemisahan hendaknya jangan dilakukan jika terdapat ruptur
membran yang tidak disengaja dan dirasa tidak aman baik bagi ibu maupun bagi
janin. Pemisahan memban serviks tidak dilakukan pada kasus – kasus servisitis,
plasenta letak rendah, maupun plasenta previa, posisi yang tidak diketahui,
atau perdarahan pervaginam yang tidak diketahui.
·
Amniotomi
Pemecahan ketuban secara sengaja (AROM). Saat dikaukan bidan
harus memeriksa dengan teliti untuk mengkaji penipisan servik, pembukaan
posisi, dan letak bagian bawah. Presentasi selain kepala merupakan
kontraindikasi AROM dan kontraindikasi lainnya ketika kepala belum turun, atau
bayi kecil karena dapat menyebabkan prolaps talipusat. Meskipun amniotomi
sering dilakukan untuk menginduksi persalinan, namun hingga kini masih belum
ada studi prospektif dengan desain tepat yang secara acak menempatkan wanita
pada kelompok tertentu untuk mengevaluasi praktik amniotomi ini.
·
Pompa Payudara dan stimulasi puting.
Penggunaan cara ini relatif lebih aman karena menggunakan
metode yang sesuai dengan fisiologi kehamilan dan persalinan. Penanganannya
dengan menstimulasi selama 15 menit diselingi istirahat dengan metode kompres
hangat selama 1 jam sebanyak 3 kali perhari.
·
Minyak jarak
Ingesti minyak jarak 60 mg yang dicampur dengan jus apel
maupun jus jeruk dapat meningkatkan angka kejadian persalinan spontan jika
diberikan pada kehamilan cukup bulan.
·
Kateter forey atau Kateter balon.
Secara umum kateter dimasukkan kedalam servik kemudian balon
di isi udara 25 hingg 50 mililiter untuk menjaga kateter tetap pada tempatnya.
Beberapa uji klinis membuktikan bahwa teknik ini sangat efektif.
BAB III
PENUTUP
3.1 KESIMPULAN
Postmatur
menunjukan atau menggambarkan keadaan janin yang lahir telah melampaui batas
waktu persalinannya, sehingga dapat menyebabkan beberapa komplikasi. (Buku
Pengantar Kuliah Obsetri: hal 450). Kehamilan lewat bulan, suatu kondisi
antepartum, harus dibedakan dengan sindrom pasca maturitas, yang merupakan
kondisi neonatal yang didiagnosis setelah pemerikasaan bayi baru lahir.
Etiologi
pada kelahiran lewat bulan ini masih belum pasti. Namun ada factor yang diduga
bayi lahir lewat bulan atau postmatur, yang dikemukakan adalah factor hormonal
yaitu kadar progesterone, kurangnya air ketuban dan insufisiensi plasenta.
Bayi
postmatur menunjukan gambaran yang khas, yaitu berupa kulit keriput, mengelupas
lebar-lebar, sianosis, badan kurus yang menunjukan pengurasan energi, dan
maturitas lanjut karena bayi tersebut matanya terbuka. Kulit keriput telihat
sekali pada bagian telapak tangan dan telapak kaki. Kuku biasanya cukup
panjang. Biasanya bayi postmatur tidak mengalami hambatan pertumbuhan karena
berat lahirnya jarang turun dibawah persentil ke-10 untuk usia gestasinya.
Banyak bayi postmatur Clifford mati dan banyak yang sakit berat akibat asfiksia
lahir dan aspirasi mekonium. Berapa bayi yang bertahan hidup mengalami
kerusakan otak.
3.2 SARAN
Memperhatikan
kondisi saat fase kehamilan sangatlah penting dengan gizi yang cukup dan
seimbang, oleh karena itu bagi ibu-ibu yang hamil hendaklah mempersiapkan
persalinan dengan sebaik-baiknya, serta dengan melakukan pemeriksaan rutin baik
untuk mengetahui kesehatan janin dan sang ibu.
0 komentar:
Posting Komentar